PAI

Minggu, 13 Mei 2018

KISAH KETELADANAN SAHABAT USMAN BIN ‘AFFAN DAN ALI BIN ABI THALIB

1.     Sifat Itsar (mendahulukan orang lain) dan Kedermawanan Utsman Ibnu Affan
Utsman adalah bagian dari sahabat terbaik Nabi S.A.W, ia  tumbuh menjadi pribadi yang lembut kepada sesama mukmin. Hatinya sering tersentuh menyaksikan keadaan mereka. Ia selalu berusaha membantu kesulitan rakyat dan menghilangkan kesedihan mereka, rajin menyambung silaturrahim, memuliakan tamu, memberi pekerjaan kepada orang fakir, membantu yang lemah dan  berusaha menghindarkan kesulitan mereka. Ia dikenal penyabar, ramah, dan murah hati, selalu memaafkan kesalahan orang lain. Teladan seluruh tingkah lakunya adalah Rasulullah SAW. Ia mencontoh perkataan, perbuatan  dan perilaku Nabi SAW.
Ada banyak peristiwa yang menunjukkan kesabaran dan ketabahan jiwanya. Dalam setiap kesempatan, ia selalu mendahulukan sikap santun dan maaf,  murah hati dan tidak bergantung pada dunia. Alih-alih diperbudak dunia, ia menjadikan dunia sebagai sarana untuk mengamalkan akhlak mulia, terutama sikap mengutamakan orang lain di atas kepentingan sendiri. Ia tidak dikuasai dunia sehingga ia tidak menjadi orang yang egois  yang mengutamakan kepentingan pribadi dan mengorbankan kepentingan orang lain.
Materi dunia yang melimpah tak mampu mengikat atau membelenggu Utsman ibn Affan untuk mencintai dunia. Ia selalu menempatkan Allah dan Rasul-Nya di urutan yang paling tinggi. Hatinya tak pernah terikat kepada dunia sehingga ia dapat setiap saat melepaskan semua miliknya demi kepentingan Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, ia termasuk orang yang paling berhak atas apa yang Allah SWT firmankan dalam Al-Qur’an: “dan barang siapa terjaga dari sikap kikir, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S. AtTaghabun).
Tentu saja ia berhak mendapatkan balasan yang mulia itu karena ia terbiasa membebaskan seorang budak setiap Jumat. Suatu hari Thalhah menyusul Utsman sekeluarnya dari masjid. Thalhah berkata, “Aku sudah punya lima puluh ribu dirham yang kupinjam darimu. Aku akan mengutus seseorang untuk menyerahkannya kepadamu.”Utsman menjawab, “Biarlah semua itu kuberikan kepadamu, karena kebaikan akhlakmu.”
Juga dikisahkan bahwa sebelum Nabi datang ke Madinah, di sana ada sumur  yang disebut sumur Rawmah. Air sumur itu sangat tawar. Setiap orang yang ingin minum dari sumur itu harus membelinya. Sumur itu milik seorang Yahudi. Ketika umat Islam semakin berat dihimpit kesulitan, Rasulullah menyerukan tawaran, “Barang siapa membeli sumur Rawmah, baginya surga.”
Mendengar pernyataan itu, Utsman bergegas ingin mendapatkan surga. Ia memberanikan diri membeli sumur itu seharga 35.000 dirham.  Ia menggratiskan siapa saja untuk memanfaatkan air sumur itu, baik yang kaya, miskin, atau pun para musafir. Inilah
Pada masa pemerintahan Al-Faruq, kaum muslim dilanda paceklik. Karena beratnya kehidupan yang harus dihadapi, tahun itu disebut tahun kelabu. Ketika nestapa semakin memuncak, orang-orang menghadap Umar r.a. dan berkata, “Wahai Khalifah, langit tak menurunkan hujan dan enggan menumbuhkan tanaman. Kita hampir binasa. apa yang harus kita lakukan?”Umar memandangi mereka dengan wajah pilu. Ia berkata, “Sabar dan bertahanlah. Aku berharap Allah memberikan jalan keluar dari keadaan ini sebelum malam tiba.”
Sore harinya terdengar kabar bahwa kafilah dagang Utsman ibn Affan telah kembali dari Syria dan akan tiba di Madinah esok pagi. Usai shalat Subuh, orang-orang menyambut kafilah itu. Seribu unta membawa gandum, minyak samin, dan kismis. Seluruh rombongan kafilah dan kendaraannya berkumpul di depan rumah Utsman ibn Affan r.a. Ketika para buruh sibuk menurunkan barang dagangan, para pedagang bergegas menemui Utsman. Mereka berkata, “Kami akan membeli semua yang engkau bawa, wahai Abu Amr.”
Utsman menjawab, “Dengan senang hati dan aku merasa terhormat. Tetapi, berapa kalian akan memberiku keuntungan?” Mereka berkata, “Untuk satu dirham yang engkau beli, kami memberimu dua dirham.” “Aku bisa mendapat lebih dari itu.jawab Utsman”. Lalu mereka kembali menaikkan harga. Utsman berkata, “Aku masih bisa mendapat lebih dari yang kalian tawarkan.” Mereka menaikkan harga lagi. Utsman berkata, “Aku masih bisa mendapatkan lebih dari itu.” Mereka berkata, “Wahai Abu Amr, Siapakah yang berani memberimu keuntungan lebih dari tawaran kami?.”
Utsman  menjawab: “Allah SWT. memberiku keuntungan sepuluh kali lipat dari setiap dirham yang kubelanjakan. Adakah diantara kalian yang berani memberiku keuntungan lebih dari itu?” “Tidak, wahai Abu Amr.”
“Aku bersaksi kepada Allah, semua yang dibawa kafilah ini kusedekahkan kepada fakir miskin di kalangan umat Islam. Aku tidak mengharapkan bayaran sepeser pun. Kulakukan semua itu semata-mata mengharapkan pahala dan keridhoan Allah SWT”. Inilah karakter Usman bin Affan yang termaktu dalam firman Allah:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُم الْمُفْلِحُونَ (9)
"Dan mereka mendahulukan kepentingan orang lain (rakyat) di atas kepentingan mereka sendiri. Dan barang siapa yang terjaga dari kekikiran dirinya, maka dialah orang-orang yang beruntung (Q.S AlHasyr: 9)

Itu gambaran keimanan dan kedermawanan Utsman ibn Affan. Sebanyak apapun harta dunia yang dimiliki, semuanya tidak berarti di hatinya. Bagi para sahabat Nabi, dunia ini tidak artinya. Kendati hidup bergelimang harta, ia tetap mengutamakan akhirat.  Hasan Al-Bashri bercerita, “Aku pernah melihat Khalifah Utsman ibn Affan berbicara di masjid. Ketika ia berdiri, bekas-bekas tanah terlihat di punggungnya. Seseorang berkata, ‘Inilah Amirul Mukminin…Inilah Amirul Mukminin…..’ Sungguh mengagumkan, ia memberikan makanan yang baik-baik kepada orang lain, sedangkan ia hanya makan cuka dan minyak samin. Ia membiarkan lambungnya bekerja keras.”
1.      Kecerdasan  sahabat Ali bin Abi Thalib r.a.

Beliau adalah salah satu –selain Abu Bakar,Umar,dan Usman- diantara 10 sahabat yang dijamin masuk surga sebagaimana sabada rasulullah SAW. lulusan terbaik dari madrasah Nubuwwah, yang dididik semenjak kecil oleh Rasulullah SAW. Diantara keistimewaan belaiu adalah Allah menganugerahkan kecerdasan di atas rata-rata,sampai-sampai rasulullah bersabda “aku adalah kotanya ilmu,sedangkam Ali adalah pintunya”.
Di antara kisahnya adalah perselisihan beberapa sahabat tentang ilmu berhitung.
Dua orang sehabat melakukan perjalanan bersama. Disuatu tempat, mereka berhenti  untuk makan siang. Sambil duduk, mulailah masing-masing membuka bekalnya. Orang yang pertama membawa tiga potong roti, sedang orang yang kedua membawa lima potong roti.Ketika keduanya telah siap untuk makan, tiba-tiba datang seorang musafir yang baru datang ini pun duduk bersama mereka.
“Mari, silakan, kita sedang bersiap-siap untuk makan siang,”kata salah seorang dari dua orang tadi.“Aduh…saya tidak membawa bekal,” jawab musafir itu.
Maka mulailah mereka bertiga menyantap roti bersama-sama. Selesai makan, musafir tadi meletakkan uang delapan dirham di hadapan dua orang tersebut seraya berkata: “Biarkan uang ini sebagai pengganti roti yang aku makan tadi.” Belum lagi mendapat jawaban dari pemilik roti itu, si musafir telah minta diri untuk melanjutkan perjalanannya lebih dahulu.
Sepeninggal si musafir, dua orang sahabat itu pun mulai akan membagi uang yang diberikan. “Baiklah, uang ini kita bagi saja,” kata si empunya lima roti. “Aku setuju,”jawab sahabatnya. “Karena aku membawa lima roti, maka aku mendapat lima dirham, sedang bagianmu adalah tiga dirham. “Ah, mana bisa begitu. Karena dia tidak meninggalkan pesan apa-apa, maka kita bagi sama, masing-masing empat dirham.” “Itu tidak adil. Aku membawa roti lebih banyak, maka aku mendapat bagian lebih banyak” .
Alhasil, kedua orang itu saling berbantah. Mereka tidak berhasil mencapai kesepakatan tentang pembagian tersebut. Maka, mereka bermaksud menghadap sahabat Ali bin Abi Thalib r.a. untuk meminta pendapat. Di hadapan Imam Ali, keduanya bercerita tentang masalah yang mereka hadapi. Imam Ali mendengarkannya dengan seksama. Setelah orang itu selesai berbicara, Imam Ali kemudian berkata kepada orang yang mempunyai tiga roti: “Terima sajalah pemberian sahabatmu yang tiga dirham itu!”  “Tidak! Aku tak mau menerimanya. Aku ingin mendapat penyelesaian yang seadil-adilnya, “Jawab orang itu. “Kalau engkau bermaksud membaginya secara benar, maka bagianmu hanya satu dirham!” kata Imam Ali lagi. “Hah…? Bagaimana engkau ini, kiranya.  Sahabatku ini akan memberikan tiga dirham dan aku menolaknya. Tetapi kini engkau berkata bahwa hak-ku hanya satu dirham?” “Bukankah engkau menginginkan penyelesaian yang adil dan benar? ,kalau begitu, bagianmu adalah satu dirham!”. “Bagaimana bisa begitu?” Orang itu bertanya.
Imam Ali menggeser duduknya. Sejenak kemudian ia berkata:”Mari kita lihat. Engkau membawa tiga potong roti dan sahabatmu ini membawa lima potong roti.” “Benar.”jawab keduanya.  “Kalian makan roti bertiga, dengan si musafir.”  ‘Benar”. “Adakah kalian tahu, siapa yang makan lebih banyak?”. “Tidak.”. “Kalau begitu, kita anggap bahwa setiap orang makan dalam jumlah yang sama banyak”. “Setuju, “jawab keduanya serempak. “Roti kalian yang delapan potong itu, masing-masingnya kita bagi menjadi tiga bagian. Dengan demikian, kita mempunyai dua puluh empat potong roti, bukan?” tanya Imam Ali.  “Benar,”jawab keduanya.
“Masing-masing dari kalian makan sama banyak, sehingga setiap orang berarti telah makan sebanyak delapan potong, karena kalian bertiga.”  “Benar.”
“Nah… orang yang membawa lima roti, telah dipotong menjadi tiga bagian mempunyai lima belas potong roti, sedang yang membawa tiga roti berarti mempunyai sembilan potong setelah dibagi menjadi tiga bagian, bukankah begitu?” “Benar, jawab keduanya, lagi-lagi dengan serempak. “si empunya lima belas potong roti makan untuk dirinya delapan roti, sehingga ia mempunyai sisa tujuh potong lagi dan itu dimakan oleh musafir yang belakangan. Sedang si empunya sembilan potong roti, maka delapan potong untuk dirinya, sedang yang satu potong di makan oleh musafir tersebut. Dengan begitu, si musafir pun tepat makan delapan potong roti sebagaimana kalian berdua, bukan?” 
Kedua orang yang dari tadi menyimak keterangan Imam Ali, tampak sedang mencerna ucapan Imam Ali tersebut. Sejenak kemudian mereka berkata:”Benar, kami mengerti.”  “Nah, uang yang diberikan oleh di musafir adalah delapan dirham, berarti tujuh dirham untuk si empunya lima roti sebab si musafir makan tujuh potong roti miliknya, dan satu dirham untuk si empunya tiga roti, sebab si musafir hanya makan satu potong roti dari milik orang itu” “Alhamdulillah…Allahu Akbar,” kedua orang itu berucap hampir bersamaan. Mereka sangat mengagumi cara Imam Ali menyelesaikan masalah tersebut, sekaligus mengagumi dan mengakui keluasan ilmunya.
“Demi Allah, kini aku puas dan rela. Aku tidak akan mengambil lebih dari hak-ku, yakni satu dirham,” kata orang yang mengadukan hal tersebut, yakni si empunya tiga roti.  Kedua orang yang mengadu itu pun sama-sama merasa puas. Mereka berbahagia, karena mereka berhasil mendapatkan pemecahan secara benar, dan mendapat tambahan ilmu yang sangat berharga dari Imam Ali bin Abi Thalib as.
Demikianlah kecerdasan Ali,meski demikian, beliau adalah orang yang mempunyai rasa tawadlu’ yang tinggi. Beliau pernah berucap : أَناَ خَادِمُ مَنْ عَلَّمَنِيْ وَلَوْ حَرْفًا     yang artinya: “aku (berkenan) menjadi pelayan pada orang yang mengajarku walaupun hanya satu huruf”.

1 komentar:

  1. artikelnya bagus, sangat menginspirasi pembaca dan dapat meneladani kisah usman bin affan yang dermawan dan ali bin abi thalib yang cerdas, tetap semangat dan ditunggu karya2mu kaka yoko

    BalasHapus