Utsman adalah bagian dari sahabat terbaik Nabi S.A.W, ia tumbuh menjadi pribadi yang lembut kepada
sesama mukmin. Hatinya sering tersentuh menyaksikan keadaan mereka. Ia selalu
berusaha membantu kesulitan rakyat dan menghilangkan kesedihan mereka, rajin menyambung
silaturrahim, memuliakan tamu, memberi pekerjaan kepada orang fakir, membantu
yang lemah dan berusaha menghindarkan
kesulitan mereka. Ia dikenal penyabar, ramah, dan murah hati, selalu memaafkan
kesalahan orang lain. Teladan seluruh tingkah lakunya adalah Rasulullah SAW. Ia
mencontoh perkataan, perbuatan dan
perilaku Nabi SAW.
Ada banyak peristiwa yang
menunjukkan kesabaran dan ketabahan jiwanya. Dalam setiap kesempatan, ia selalu
mendahulukan sikap santun dan maaf, murah
hati dan tidak bergantung pada dunia. Alih-alih diperbudak dunia, ia menjadikan
dunia sebagai sarana untuk mengamalkan akhlak mulia, terutama sikap
mengutamakan orang lain di atas kepentingan sendiri. Ia tidak dikuasai dunia
sehingga ia tidak menjadi orang yang egois
yang mengutamakan kepentingan pribadi dan mengorbankan kepentingan orang
lain.
Materi dunia yang melimpah tak mampu
mengikat atau membelenggu Utsman ibn Affan untuk mencintai dunia. Ia selalu
menempatkan Allah dan Rasul-Nya di urutan yang paling tinggi. Hatinya tak
pernah terikat kepada dunia sehingga ia dapat setiap saat melepaskan semua
miliknya demi kepentingan Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, ia termasuk orang
yang paling berhak atas apa yang Allah SWT firmankan dalam Al-Qur’an: “dan
barang siapa terjaga dari sikap kikir, mereka itulah orang-orang yang
beruntung” (Q.S. AtTaghabun).
Tentu saja ia berhak mendapatkan
balasan yang mulia itu karena ia terbiasa membebaskan seorang budak setiap
Jumat. Suatu hari Thalhah menyusul Utsman sekeluarnya dari masjid. Thalhah
berkata, “Aku sudah punya lima puluh ribu dirham yang kupinjam darimu. Aku
akan mengutus seseorang untuk menyerahkannya kepadamu.”Utsman menjawab, “Biarlah
semua itu kuberikan kepadamu, karena kebaikan akhlakmu.”
Juga dikisahkan bahwa sebelum Nabi
datang ke Madinah, di sana ada sumur
yang disebut sumur Rawmah. Air sumur itu sangat tawar. Setiap orang yang
ingin minum dari sumur itu harus membelinya. Sumur itu milik seorang Yahudi.
Ketika umat Islam semakin berat dihimpit kesulitan, Rasulullah menyerukan tawaran,
“Barang siapa membeli sumur Rawmah, baginya surga.”
Mendengar pernyataan itu, Utsman
bergegas ingin mendapatkan surga. Ia memberanikan diri membeli sumur itu
seharga 35.000 dirham. Ia menggratiskan
siapa saja untuk memanfaatkan air sumur itu, baik yang kaya, miskin, atau pun para
musafir. Inilah
Pada masa pemerintahan Al-Faruq,
kaum muslim dilanda paceklik. Karena beratnya kehidupan yang harus dihadapi,
tahun itu disebut tahun kelabu. Ketika nestapa semakin memuncak, orang-orang
menghadap Umar r.a. dan berkata, “Wahai Khalifah, langit tak menurunkan
hujan dan enggan menumbuhkan tanaman. Kita hampir binasa. apa yang harus kita
lakukan?”Umar memandangi mereka dengan wajah pilu. Ia berkata, “Sabar
dan bertahanlah. Aku berharap Allah memberikan jalan keluar dari keadaan ini
sebelum malam tiba.”
Sore harinya terdengar kabar bahwa
kafilah dagang Utsman ibn Affan telah kembali dari Syria dan akan tiba di
Madinah esok pagi. Usai shalat Subuh, orang-orang menyambut kafilah itu. Seribu
unta membawa gandum, minyak samin, dan kismis. Seluruh rombongan kafilah dan
kendaraannya berkumpul di depan rumah Utsman ibn Affan r.a. Ketika para buruh
sibuk menurunkan barang dagangan, para pedagang bergegas menemui Utsman. Mereka
berkata, “Kami akan membeli semua yang engkau bawa, wahai Abu Amr.”
Utsman menjawab, “Dengan senang
hati dan aku merasa terhormat. Tetapi, berapa kalian akan memberiku
keuntungan?” Mereka berkata, “Untuk satu dirham yang engkau beli, kami
memberimu dua dirham.” “Aku bisa mendapat lebih dari itu.jawab Utsman”. Lalu mereka
kembali menaikkan harga. Utsman berkata, “Aku masih bisa mendapat lebih dari
yang kalian tawarkan.” Mereka menaikkan harga lagi. Utsman berkata, “Aku
masih bisa mendapatkan lebih dari itu.” Mereka berkata, “Wahai Abu Amr, Siapakah
yang berani memberimu keuntungan lebih dari tawaran kami?.”
Utsman menjawab: “Allah SWT. memberiku keuntungan
sepuluh kali lipat dari setiap dirham yang kubelanjakan. Adakah diantara kalian
yang berani memberiku keuntungan lebih dari itu?” “Tidak, wahai Abu Amr.”
“Aku bersaksi kepada Allah, semua
yang dibawa kafilah ini kusedekahkan kepada fakir miskin di kalangan umat
Islam. Aku tidak mengharapkan bayaran sepeser pun. Kulakukan semua itu
semata-mata mengharapkan pahala dan keridhoan Allah SWT”. Inilah karakter Usman bin Affan yang termaktu dalam firman
Allah:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ
وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ
فَأُولَئِكَ هُم الْمُفْلِحُونَ (9)
"Dan mereka mendahulukan kepentingan orang lain (rakyat)
di atas kepentingan mereka sendiri. Dan barang siapa yang terjaga dari
kekikiran dirinya, maka dialah orang-orang yang beruntung (Q.S AlHasyr: 9)
Itu gambaran keimanan dan
kedermawanan Utsman ibn Affan. Sebanyak apapun harta dunia yang dimiliki,
semuanya tidak berarti di hatinya. Bagi para sahabat Nabi, dunia ini tidak
artinya. Kendati hidup bergelimang harta, ia tetap mengutamakan akhirat. Hasan Al-Bashri bercerita, “Aku pernah
melihat Khalifah Utsman ibn Affan berbicara di masjid. Ketika ia berdiri,
bekas-bekas tanah terlihat di punggungnya. Seseorang berkata, ‘Inilah Amirul
Mukminin…Inilah Amirul Mukminin…..’ Sungguh mengagumkan, ia memberikan makanan
yang baik-baik kepada orang lain, sedangkan ia hanya makan cuka dan minyak
samin. Ia membiarkan lambungnya bekerja keras.”
1. Kecerdasan sahabat Ali bin Abi Thalib r.a.
Beliau adalah salah satu –selain Abu
Bakar,Umar,dan Usman- diantara 10 sahabat yang dijamin masuk surga sebagaimana
sabada rasulullah SAW. lulusan terbaik dari madrasah Nubuwwah, yang dididik semenjak
kecil oleh Rasulullah SAW. Diantara keistimewaan belaiu adalah Allah
menganugerahkan kecerdasan di atas rata-rata,sampai-sampai rasulullah bersabda
“aku adalah kotanya ilmu,sedangkam Ali adalah pintunya”.
Di antara kisahnya adalah perselisihan
beberapa sahabat tentang ilmu berhitung.
Dua orang sehabat melakukan perjalanan bersama. Disuatu tempat, mereka berhenti untuk makan siang. Sambil duduk, mulailah masing-masing membuka bekalnya. Orang yang pertama membawa tiga potong roti, sedang orang yang kedua membawa lima potong roti.Ketika keduanya telah siap untuk makan, tiba-tiba datang seorang musafir yang baru datang ini pun duduk bersama mereka.
“Mari, silakan, kita sedang bersiap-siap untuk makan siang,”kata salah seorang dari dua orang tadi.“Aduh…saya tidak membawa bekal,” jawab musafir itu.
Dua orang sehabat melakukan perjalanan bersama. Disuatu tempat, mereka berhenti untuk makan siang. Sambil duduk, mulailah masing-masing membuka bekalnya. Orang yang pertama membawa tiga potong roti, sedang orang yang kedua membawa lima potong roti.Ketika keduanya telah siap untuk makan, tiba-tiba datang seorang musafir yang baru datang ini pun duduk bersama mereka.
“Mari, silakan, kita sedang bersiap-siap untuk makan siang,”kata salah seorang dari dua orang tadi.“Aduh…saya tidak membawa bekal,” jawab musafir itu.
Maka mulailah mereka bertiga menyantap
roti bersama-sama. Selesai makan, musafir tadi meletakkan uang delapan dirham
di hadapan dua orang tersebut seraya berkata: “Biarkan uang ini sebagai
pengganti roti yang aku makan tadi.” Belum lagi mendapat jawaban dari pemilik
roti itu, si musafir telah minta diri untuk melanjutkan perjalanannya lebih
dahulu.
Sepeninggal si musafir, dua orang sahabat
itu pun mulai akan membagi uang yang diberikan. “Baiklah, uang ini kita bagi
saja,” kata si empunya lima roti. “Aku setuju,”jawab sahabatnya. “Karena aku
membawa lima roti, maka aku mendapat lima dirham, sedang bagianmu adalah tiga
dirham. “Ah, mana bisa begitu. Karena dia tidak meninggalkan pesan apa-apa,
maka kita bagi sama, masing-masing empat dirham.” “Itu tidak adil. Aku membawa
roti lebih banyak, maka aku mendapat bagian lebih banyak” .
Alhasil, kedua orang itu saling
berbantah. Mereka tidak berhasil mencapai kesepakatan tentang pembagian
tersebut. Maka, mereka bermaksud menghadap sahabat Ali bin Abi Thalib r.a.
untuk meminta pendapat. Di hadapan Imam Ali, keduanya bercerita tentang masalah
yang mereka hadapi. Imam Ali mendengarkannya dengan seksama. Setelah orang itu
selesai berbicara, Imam Ali kemudian berkata kepada orang yang mempunyai tiga
roti: “Terima sajalah pemberian sahabatmu yang tiga dirham itu!” “Tidak! Aku tak mau menerimanya. Aku ingin
mendapat penyelesaian yang seadil-adilnya, “Jawab orang itu. “Kalau engkau
bermaksud membaginya secara benar, maka bagianmu hanya satu dirham!” kata Imam
Ali lagi. “Hah…?
Bagaimana engkau ini, kiranya. Sahabatku
ini akan memberikan tiga dirham dan aku menolaknya. Tetapi kini engkau berkata
bahwa hak-ku hanya satu dirham?” “Bukankah engkau menginginkan penyelesaian
yang adil dan benar? ,kalau begitu, bagianmu adalah satu dirham!”. “Bagaimana
bisa begitu?” Orang itu bertanya.
Imam Ali menggeser duduknya. Sejenak
kemudian ia berkata:”Mari kita lihat. Engkau membawa tiga potong roti dan
sahabatmu ini membawa lima potong roti.” “Benar.”jawab keduanya. “Kalian makan roti bertiga, dengan si
musafir.” ‘Benar”. “Adakah kalian tahu,
siapa yang makan lebih banyak?”. “Tidak.”. “Kalau begitu, kita anggap bahwa
setiap orang makan dalam jumlah yang sama banyak”. “Setuju, “jawab keduanya serempak.
“Roti kalian yang delapan potong itu, masing-masingnya kita bagi menjadi tiga
bagian. Dengan demikian, kita mempunyai dua puluh empat potong roti, bukan?”
tanya Imam Ali. “Benar,”jawab keduanya.
“Masing-masing dari kalian makan sama banyak, sehingga setiap orang berarti telah makan sebanyak delapan potong, karena kalian bertiga.” “Benar.” “Nah… orang yang membawa lima roti, telah dipotong menjadi tiga bagian mempunyai lima belas potong roti, sedang yang membawa tiga roti berarti mempunyai sembilan potong setelah dibagi menjadi tiga bagian, bukankah begitu?” “Benar, jawab keduanya, lagi-lagi dengan serempak. “si empunya lima belas potong roti makan untuk dirinya delapan roti, sehingga ia mempunyai sisa tujuh potong lagi dan itu dimakan oleh musafir yang belakangan. Sedang si empunya sembilan potong roti, maka delapan potong untuk dirinya, sedang yang satu potong di makan oleh musafir tersebut. Dengan begitu, si musafir pun tepat makan delapan potong roti sebagaimana kalian berdua, bukan?”
Kedua orang yang dari tadi menyimak keterangan Imam Ali, tampak sedang mencerna ucapan Imam Ali tersebut. Sejenak kemudian mereka berkata:”Benar, kami mengerti.” “Nah, uang yang diberikan oleh di musafir adalah delapan dirham, berarti tujuh dirham untuk si empunya lima roti sebab si musafir makan tujuh potong roti miliknya, dan satu dirham untuk si empunya tiga roti, sebab si musafir hanya makan satu potong roti dari milik orang itu” “Alhamdulillah…Allahu Akbar,” kedua orang itu berucap hampir bersamaan. Mereka sangat mengagumi cara Imam Ali menyelesaikan masalah tersebut, sekaligus mengagumi dan mengakui keluasan ilmunya.
“Demi Allah, kini aku puas dan rela. Aku tidak akan mengambil lebih dari hak-ku, yakni satu dirham,” kata orang yang mengadukan hal tersebut, yakni si empunya tiga roti. Kedua orang yang mengadu itu pun sama-sama merasa puas. Mereka berbahagia, karena mereka berhasil mendapatkan pemecahan secara benar, dan mendapat tambahan ilmu yang sangat berharga dari Imam Ali bin Abi Thalib as.
“Masing-masing dari kalian makan sama banyak, sehingga setiap orang berarti telah makan sebanyak delapan potong, karena kalian bertiga.” “Benar.” “Nah… orang yang membawa lima roti, telah dipotong menjadi tiga bagian mempunyai lima belas potong roti, sedang yang membawa tiga roti berarti mempunyai sembilan potong setelah dibagi menjadi tiga bagian, bukankah begitu?” “Benar, jawab keduanya, lagi-lagi dengan serempak. “si empunya lima belas potong roti makan untuk dirinya delapan roti, sehingga ia mempunyai sisa tujuh potong lagi dan itu dimakan oleh musafir yang belakangan. Sedang si empunya sembilan potong roti, maka delapan potong untuk dirinya, sedang yang satu potong di makan oleh musafir tersebut. Dengan begitu, si musafir pun tepat makan delapan potong roti sebagaimana kalian berdua, bukan?”
Kedua orang yang dari tadi menyimak keterangan Imam Ali, tampak sedang mencerna ucapan Imam Ali tersebut. Sejenak kemudian mereka berkata:”Benar, kami mengerti.” “Nah, uang yang diberikan oleh di musafir adalah delapan dirham, berarti tujuh dirham untuk si empunya lima roti sebab si musafir makan tujuh potong roti miliknya, dan satu dirham untuk si empunya tiga roti, sebab si musafir hanya makan satu potong roti dari milik orang itu” “Alhamdulillah…Allahu Akbar,” kedua orang itu berucap hampir bersamaan. Mereka sangat mengagumi cara Imam Ali menyelesaikan masalah tersebut, sekaligus mengagumi dan mengakui keluasan ilmunya.
“Demi Allah, kini aku puas dan rela. Aku tidak akan mengambil lebih dari hak-ku, yakni satu dirham,” kata orang yang mengadukan hal tersebut, yakni si empunya tiga roti. Kedua orang yang mengadu itu pun sama-sama merasa puas. Mereka berbahagia, karena mereka berhasil mendapatkan pemecahan secara benar, dan mendapat tambahan ilmu yang sangat berharga dari Imam Ali bin Abi Thalib as.
Demikianlah kecerdasan Ali,meski
demikian, beliau adalah orang yang mempunyai rasa tawadlu’ yang tinggi. Beliau
pernah berucap : أَناَ خَادِمُ مَنْ عَلَّمَنِيْ وَلَوْ
حَرْفًا yang artinya: “aku (berkenan) menjadi
pelayan pada orang yang mengajarku walaupun hanya satu huruf”.
artikelnya bagus, sangat menginspirasi pembaca dan dapat meneladani kisah usman bin affan yang dermawan dan ali bin abi thalib yang cerdas, tetap semangat dan ditunggu karya2mu kaka yoko
BalasHapus